Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih
Hakim
Secara etimologi hakim diartikan : “pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.” arti lainnya : “yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan hukum.”
Hakim merupakan persoalan yang mendasar dalam ilmu ushul fikih, khususnya siapa pembuat hukum sebenarnya dan penentu baik buruknya suatu persoalan. Para pakar ushul sepakat bahwa yang membuat hukum adalah Allah [syari’]. Karena itu tidak ada hukum dalam Islam kecuali bersumber dari Allah baik berkaitan dengan hukum taklifi ataupun wadh’i.
Mampukah Akal Menemukan Hukum Tuhan
Telah disepakati bahwa yang membuat hukum pada hakikatnya adalah Allah, tetapi apakah akal manusia mampu menemukan hukum Allah :
Aswaja berpendapat : akal tidak mampu menemukan hukum Allah, menetapkan baik dan buruk tanpa melalui rasul dan kitab suci. Allah pun tidak berkewajjiban untuk menetapkan baik ataupun buruk apa yang dipandang baik atau buruk oleh akal manusia
Mu’tazilah berpendapat akal menemukan dan menentukan hukum Allah, menentukan baik atau buruk, walaupun tanpa melalui rasul atau kitab suci. Kata rasul diartikan golongan ini sebagai “akal”. Q.S. al-Isra [17: 15] diartikan mereka “kami tidak mengazab seseorang sampai kami berikan akal padanya.”
Telah disepakati bahwa yang membuat hukum pada hakikatnya adalah Allah, tetapi apakah akal manusia mampu menemukan hukum Allah :
Aswaja berpendapat : akal tidak mampu menemukan hukum Allah, menetapkan baik dan buruk tanpa melalui rasul dan kitab suci. Allah pun tidak berkewajjiban untuk menetapkan baik ataupun buruk apa yang dipandang baik atau buruk oleh akal manusia.
Mu’tazilah berpendapat akal menemukan dan menentukan hukum Allah, menentukan baik atau buruk, walaupun tanpa melalui rasul atau kitab suci. Kata rasul diartikan golongan ini sebagai “akal”. Q.S. al-Isra [17: 15] diartikan mereka “kami tidak mengazab seseorang sampai kami berikan akal padanya.”
Maturidayah berpendapat : akal memang mampu menemukan hukum Allah, menetapkan baik dan buruk, tetapi hasil dari akal ini tidak wajib dikerjakan dan bagi yang mengerjakannya tidak mendapat imbalan. Oleh karena itu, harus berdasarkan nash (Aquran & hadis). Walaupun fikih merupakan hasil dari pemikiran manusia, tetapi harus senantiasa bersandar pada nash, bukan terlepas sama sekali dari nash. Oleh karena itu akal bukan sebagai sumber hukum yang ketiga setelah Alquran dan hadis seperti yang menjadi pendapat mu’tazilah, melainkan akal selalu harus bersandar pada nash.
Selanjutnya tentang bahasan Mahkum Fih dan mahkum 'alaihi lebih terincinya dapat dilihat di file power point
Mahkum Fih
Mahkum Fih adalah perbuatan mukallaf berkaitan dengan hukum taklifi.
Syarat-syarat Mahkum Fih adalah :
Mukallaf mengetahui secara sempurna perbuatan yang akan dilakukan
Mukallaf dapat mencerna dengan akalnya tentang hukum yang dibebankannya
Perbuatan tersebut mungkin dikerjakan, mungkin pula ditinggalkan. Akibat dari syarat ke 3 ini, muncullah pemikiran : {tidak boleh ada pembebanan hukum terhadap sesuatu yang mustahil, tidak sah melakukan suatu taklif atas nama orang lain}.
Mahkum Alaih adalah orang [mukallaf] yang melakukan perbuatan hukum taklifi. Pengertian lainnya, mukallaf adalah orang yang cakap berbuat hukum.
Bagi yang tertarik dengan materi ini silakan download dengan klik link ini Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih
Bagi yang ingin langsung dapat filenya, silakan klik link ini Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih
Ingin melihat materi sebelumnya, klik link al-Ahkam (Hukum Syara'), Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i
Tonton juga video penyampaian materi ini di channel youtube kami Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga artikel ini bermanfaat. Abdul Helim berharap anda dapat memberikan komentar, namun tolong agar menggunakan bahasa yang etis. Terima kasih