Hasil penelitian ini bahwa di antara para ahli hukum Islam ada yang menolak eksistensi maslahat sebagai metode dan ada pula yang menerinanya. Namun walaupun memiliki perspektif yang sana dalam artian menerima maslahat sebagai metode, tampaknya di antara para ahli hukum Islam ada yang membatasi implementasi maslahat, tetapi ada pula yang memberikan kelonggaran bahkan cenderung liberal. Para ahli hukum yang membatasi maslahat adalah dengan cara menentukan syarat yang mengikat dan kemudian ditambah dengan adanya pembagian maslahat kepada tiga bagian yang cenderung membuat maslahat tidak dapat bernafas dan tampak terbatas bahkan posisinya pun juga semakin terjepit. Namun pada perkembangan selanjutnya syarat-syarat maslahat tcrsebut menuai kitikan. Hal ini beranjak dari sama-sama menginginkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan untuk publik umum, maka bagi yang menerima maslahat dengan memberikan batasan-batasan tertentu menyatakan apabila terjadi pertentangan antara maslahat dengan nas maka yang diutamakan adalah nas. Tetapi bagi yang menerima tanpa memberikan batasan terhadap maslahat menyatakan walaupun harus bertentangan dengan nas qath‘i atau dalam lingkup ta‘abbudiyah (bukan dilihat dari sisi perintah dan lebih bersifat aplikatif), maka maslahat (menarik kemaslalutan dan sekaligus menolak kemudaratan) yang didukung maqashid al-syariah mesti diutamakan baik melalui interpretasi atau reinterpretasi (takwil) untuk menuju kemaslahatan dan terhindarnya kemudaratan.
Jika tertarik dengan artikel ini, silakan download Otoritas Maslahat dalam Membangun Fikih Dinamis.
Artikel ini juga terindek di google scholar. Klik link ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga artikel ini bermanfaat. Abdul Helim berharap anda dapat memberikan komentar, namun tolong agar menggunakan bahasa yang etis. Terima kasih