Senin, 16 Agustus 2021

Browse: Home / / Membaca Kembali 'Illah Doktrin Idah dalam Perspektif Ushul Fiqh

Membaca Kembali 'Illah Doktrin Idah dalam Perspektif Ushul Fiqh

Membaca kembali Illah doktrin Idah dalam perspektif ushul fiqh. Penelitian ini dilatarbelakangi tidak diketahuinya secara jelas ‘illah doktrin idah baik dalam Alquran maupun hasil kajian para pakar, sehingga eksistensi doktrin idah berpotensi dipertanyakan kembali terlebih dikaitkan dengan teknologi modern. Oleh karena itu masalah yang dikaji adalah bagaimana ‘illah idah dalam Alquran beserta kondisi sosial yang melatarbelakanginya dan bagaimana relevansi ‘illah tersebut dengan doktrin idah dikaitkan dengan zaman sekarang perspektif ushul fikih. Penelitian ini menggunakan pendekatan ushul fikih kontekstual. Hasil yang ditemukan adalah Alquran ternyata tidak mengatur ‘illah doktrin idah. Interpretasi para pakar terhadap doktrin ini pun tidak dapat disebut ‘illah melainkan hikmah adanya doktrin idah. ‘Illah idah yang tepat berdasarkan proses as-sibr wa at-taqsîm adalah etika atau kesopanan. Etika atau kesopanan selalu relevan dengan zaman, tidak terbatas waktu, tidak terikat kondisi dan berlaku pada setiap orang. Berdasarkan ‘illah tersebut dan sesuai dengan kondisi sekarang serta melalui kajian maqâshid asy-syarî‘ah dan qiyâs, idah tidak hanya masih wajib dijalani mantan isteri, tetapi mantan suami pun wajib menjalaninya sebagaimana Nabi Muhammad pun menjalani idah sepeninggal Khadijah. Masa idah yang wajib ditempuh mantan suami adalah menyesuaikan dengan masa idah mantan isteri.

Idah telah lama dipraktikkan dan bahkan menjadi kebiasaan bangsa-bangsa dan masyarakat pra Islam. Dalam kondisi sosial budaya pada waktu itu, idah diterapkan beserta ihdâd secara tidak manusiawi, sehingga derajat para wanita pun hampir tidak berbeda dengan barang. Islam pun datang membawa perubahan yang sangat besar pada kaum wanita dan memberikan respons terhadap budaya idah pada waktu itu dengan tetap memberlakukan idah dengan batasan-batasan tertentu yang jauh lebih manusiawi. Permasalahannya, hanya tidak ditemukan secara eksplisit motif atau ‘illah disyariatkannya idah. Para pakar tafsir dan ushul fikih pun hanya menyatakan bahwa idah untuk mengetahui kebersihan rahim, bela sungkawa  atas wafatnya suami, atau sebagai media berpikir untuk rujuk, bahkan sebagai ta‘abbudiyyah semata. Beberapa hal ini tepatnya disebut hikmah hukum idah, sementara yang dikehendaki adalah‘illah, karena hanya ‘illah yang dapat menjadi penentu adanya hukum. Beranjak dari ketidakjelasan ini melalui kajian as-sibr wa at-taqsîm tampaknya ‘illah idah adalah etika atau kesopanan.

Etika atau kesopanan merupakan ‘illah  yang tidak terbatas waktu, tidak terikat kondisi dan berlaku pada setiap orang serta relevan dengan setiap kondisi sosial budaya, sehingga doktrin idah pun selalu relevan di setiap zaman. Berdasarkan hal demikian, tampaknya yang wajib menempuh masa idah tidak hanya mantan isteri, tetapi berlaku pula pada mantan suami dan pada kenyataannya tidak sedikit mantan suami juga menjalani masa idah. Pemberlakuan idah pada suami sejalan dengan maqâshid asy-syarî‘ah dan mencukupi pula syarat dan rukun qiyâs, bahkan disebut sebagai qiyâs shahîh yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Terlebih melalui pembacaan sejarah, Nabi Muhammad saw tampaknya juga menjalani masa idah. Adapun masa yang wajib dijalani suami menyesuaikan dengan masa idah isteri.

Jika tertarik dengan artikel ini, silakan download, klik Membaca Kembali 'Illah Doktrin Idah dalam Perspektif Ushul Fiqh

Artikel ini juga terindek di google scholar, klik Membaca Kembali 'Illah Doktrin Idah dalam Perspektif Ushul Fiqh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga artikel ini bermanfaat. Abdul Helim berharap anda dapat memberikan komentar, namun tolong agar menggunakan bahasa yang etis. Terima kasih


Diedit Kembali Oleh abdulhelim.blogspot.com 2021 Weblog
|Template: Awesome Inc.|Diberdayakan Oleh : Blogger